05 March 2009

Aku Bukan Tukang Pos

Aku Bukan Tukang Pos

Mengantar surat, paket, dsb sampai ke tujuan adalah sudah menjadi tugas dan tanggung jawab Tukang Pos (yang sering disebut Pak Pos). Pekerjaan itu sudah menjadi profesi pak pos, dan itu adalah tugas mulia. Padahal perkembangan teknologi sudah canggih namun mengantar surat secara khusus tetap dilakukan oleh pak pos, untuk menunjukkan sahnya isi surat tersebut.

Sedangkan aku sendiri bukanlah seroang tukang pos, tapi seorang pengantar surat yang harus aku emban selagi aku masih berada di sekretariat (bagian umum) di salah satu instansi pemerintahan Kabupaten Tapanuli Utara.

Hal saya takuti adalah mengantar surat di saat hujan, apalagi surat tersebut bersifat penting dan mendesak. Ditambah lagi aku harus memohon dengan memelas agar aku bisa memakai sepeda motor untuk mengantar surat. Namun apa hendak dikata, aku bukanlah staf yang memiliki pangkat yang cukup dan berjabatan cukup. Hanya staf yang bergolongan rendah. Terkadang aku juga harus memelas agar diberikan uang untuk membeli bahan bakar supaya sepeda motor tersebut dapat saya pakai untuk mengantar surat.

Kebanyakan staf yang satu bagian dengan aku tidak mau bersedia mengantar surat. Apa boleh buat, aku maklum saja karena mereka adalah wanita yang harus dimengerti (tidak ada sangkut paut soal isi hati). Ayahku juga masih satu bagian dari aku, tapi aku tidak tega untuk mengajaknya mengantar surat.

Sering teman-teman berpendapat bahwa di kantorku itu banyak staf yang pintar, dan bijak, serta berpenghasilan tinggi. Namun itu hanya opini saja tanpa melihat langsung ke dalam. Bahkan ada berpendapat bahwa aku punya deking di kantor yakni Ayahku sendiri. Padahal tidak, dia berpangkat rendah seperti aku. Itulah sebabnya aku tidak mau bersama ayahku mengantar surat. Bukan malu atau sombong, tapi aku segan dan tidak tega karena dia adalah ayahku.

Aku memang bukan tukang pos, tapi sudah menjadi tugasku mengantar surat sekalipun hujan datang. Walau aku sudah mengatar surat dan basah kuyup tetapi saya juga kembali kerja di kantor untuk mengkonsep surat, dan mengetiknya. Selain aku, ada juga pria yang setara dengan aku pangkatnya, namun dia sangat keras kepala dan seolah-olah merasa dirinya lebih tinggi pangkatnya dari aku sehingga tidak mau mengantar surat. Maklum saja, selama hidupnya dia hidup di masa kejayaan orang tuanya sehingga tingkah lakunya seperti pejabat.

Barusan tadi pagi sampai sore saya mengantar surat ke berbagai instansi di bawah naungan pemerintah kabupaten Tapanuli Utara. Aku sempat beristirahat karena hujan turun deras tiba-tiba. Akhirnya aku tunggu sampai berhenti, namun tak kunjung berhenti. Jantungku berdetak tidak beraturan karena masih banyak lagi surat penting yang harus di antar. Padahal kantor-kantor isntansi tersebut tidak berjarak dekat. Tidak semua berada di ibukota. Mana lagi aku harus mengantar surat untuk camat ke kantornya dan melalui loket bus ke kecamatan tertentu. Sekarang badanku sudah mulai tampak gejala panas. Memang benar kita harus menjaga kesehatan agar bisa bekerja semaksimal mungkin, tapi apa daya. Aku harus melakukannya karena itu sudah menjadi tugasku.

Teman-temanku yang bukan sekantor berpikiran bahwa aku itu adalah orang berpendidikan yang memiliki gelar kesarjanaan (Strata-1), dan memang benar. Namun, di kantor aku tidak dianggap sebagai srajana, melainkan setara dengan tamatan SLTA sederajat. Dan memang benar karena aku melamar dengan menggunakan ijazah tamatan SLTA sederajat. Tapi walau demikian aku bekerja di kantor tidak menggunakan ilmu setara SLTA, melainkan menggunakan kemampuan setara S-1. Andai aku bukan sarjana, kemungkinan besar aku akan kesulitan untuk mengkonsep surat serta mengetiknya. Apa hendak dikata, aku tetap juga harus mengantar surat.

Aku kuliah tidak sambil kerja, tapi reguler aku duduk di bangku kuliah, ditambah lagi aku juga mengambil Akta-IV. Tapi keliatannya sia-sia karena tidak berlaku di kantor, karena ilmu itu harus kugunakan di Gereja atau di sekolah. Apa boleh buat, tidak ada gunanya bagiku untuk mengeluh. Aku dituntut untuk menikmatinya, dan itulah mungkin waktunya bagiku sekarang. Soal di masa depan, biarlah Tuhan yang menentukan, yang penting berpengharapan meski tiada satu pun orang yang mengerti.

Mengantar surat, sudah menjadi tugasku sesuai dengan pangkat dan jabatanku meski aku bukan tukang pos. Biarlah itu menjadi bagianku sekarang sampai masa yang ditentukan oleh Tuhan bagiku.

B. Marada Hutagalung

http://maradagv.wordpress.com

Comments
0 Comments
No comments:
Write Isi Komentar Baru

Mohon komentarnya dengan tidak memuat komentar yang berunsur SARA, Pornografi dan hal-hal yang tidak sesusai dengan aturan/norma yang berlaku. Terima kasih dan salam sejahtera.


Pengunjung

Flag Counter